BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kalimantan
merupakan pulau
terbesar ke tiga di dunia. Pulau ini menjadi “jantung”nya Nusantara. Luasnya
mencapai 940.000 kilometer persegi, 736.000 kilometer persegi milik Republik
Indonesia. Hasil rimbanya sangat besar, diantaranya menghasilkan kayu yang
paling bermutu, rotan, damar, dan sebagainya. Tanahnya yang beriklim sangat
lembab, karena
curahan hujan yang banyak itu mengandung batubara, minyak tanah, besi, intan,
emas dan platina. Banyak terdapat sungai-sungai yang besar yang menjadi sumber
kemakmuran dan kemajuan ekonomi, diantaranya
Sungai Kapuas, Barito
dan Mahakam.
Pulau ini mempunyai banyak sejarah yang menakjubkan. Di dalamnya terdapat banyak
kerajaan yang silih berganti dari masa ke masa. Dari kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha hingga bercorak Islam. Dalam makalah ini akan dibahas kerajaan yang bercorak Islam di Kalimantan, yakni Kerajaan
Banjar.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
asal-usul berdirinya Kerajaan Banjar di Kalimantan?
2.
Siapa
sajakah sultan-sultan yang pernah memimpin Kerajaan Banjar?
3.
Bagaimana
sistem politik, ekonomi, dan budaya Kerajaan Banjar?
4.
Bagaimana
pengislamisasian pada Kerajaan Banjar?
5.
Bagaimana
kemunduran dari Kerajaan Banjar?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul
Kerajaan Banjar
Islam
datang ke Kalimantan pada abad ke 15. Suatu ketika, Raden Paku atau Sunan Giri
berlayar ke pulau Kalimantan dan mendarat di pelabuhan Banjar. Kedatangannya
sebagai muballigh sambil membawa barang dagangannya dengan tiga buah kapal.
Kedatangan Sunan Giri ke Kalimantan diperkirakan pada tahun 1470 M. [1]
Pada
akhir abad ke 15, orang-orang Islam dari Jawa telah banyak menetap di
Kalimantan. Berita-berita tentang agama Islam semakin tersiar dikalangan
penduduk, baik melalui pendatang (pedagang dan muballigh) maupun orang-orang
Kalimantan sendiri yang pernah menyinggahi Jawa, terutama Jawa Timur. Itu
sebabnya maka kisah-kisah tentang Wali Songo menjadi buah bibir penduduk
Kalimantan. Pelan tapi pasti Agama Islam telah dikenal oleh seluruh penduduk.[2]
Pada
masa itu, kalimantan Selatan masih dibawah Kerajaan Daha, yang pada saat itu
dipimpim oleh Pangeran Sukarama. Ia mempunyai tiga orang anak; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung dan Putri Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari konflik yang ada
di dalam Istana Daha. Konflik terjadi antara Pangeran Samudera sebagai pewaris
sah Kerajaan Daha, dengan pamannya Pangeran Tumenggung. Seperti dikisahkan
dalam Hikayat Banjar, ketika Raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya,
ia berwasiat, agar yang menggantikannya nanti adalahcucunya Raden Samudera.
Tentu saja keempat anaknya tidak setuju dengan sikap ayahnya itu, terlebih
Pangeran Tumenggung yang sangat berambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan
dipegang oleh anak tertua, yakni Pangeran Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran
Samudera baru berumur 7 tahun. Pangeran Mangkubumi tak terlalu lama berkuasa,
karena ia dibunuh oleh pengawalnya yang berhasil dihasut oleh Pangeran
Tumenggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumenggung
naik tahta.[3]
Pada
saat itu, Pangeran Samudera menjadi musuh besar Pangeran Tumenggung. Oleh
karena itu ia memilih meninggalkan istana dan menyamar menjadi nelayan di
Pelabuhan Banjar. Namun, keberadaanya diketahui oleh Patih Masih yang menguasai
Bandar. Karena tidak mau daerahnya (Patih Masih) terus menerus mengantar upeti
ke Daha kepada Pangeran Tumenggung, maka Patih Masih mengangkatnya sebagai
Raja.[4]
Dalam sejarah
Daha, tersebutlah seorang perdana menteri yang cakap, bernama Patih Masih.
Walau tak sebesar Patih Gajah Mada, ia mampu mengendalikan pemerintahan dengan
teratur dan maju. Patih ini banyak bergaul dengan pendatang-pendatang di
Pelabuhan Bandar. Disanalah ia bergaul dengan Muballigh Islam yang datang dari
Tuban dan Gresik. Dari para Muballigh ini ia mendengar kisah tentang Wali Songo
dalam mengemban Kerajaan Demak dan dalam membangun masyarakat yang adil dan
makmur. Bagi Patih Masih, kisah tersebut sangat fantastik, mengagumkan. Seiring
berjalannya waktu, dari pergaulannya ini, ia akhirnya memeluk Islam.[5]
Atas
bantuan Patih Masih, Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan dan memulai
menyerang Pangeran Tumenggung. Tetapi peperangan terus berlangsung secara
seimbang. Patih mengusulkan untuk meminta bantuan Demak. Sultan Demak bersedia
membantu Pangeran Samudera asal nanti masuk Islam. Lalu sultan Demak
mengirimkan bantuan seribu orang tentaranya[6]
(sumber lain mengatakan berjumlah 40.000 tentara, dengan jumlah 1.000 kapal,
masing-masing kapal memuat 400 prajurit[7]). Atas
bantuan itu, kemenangan ada di pihak Pangeran Samudera. Sesuai dengan janjinya,
ia beserta seluruh kerabat keraton dan penduduk Banjar menyatakan diri masuk
Islam. Setelah masuk Islam, ia diberi nama Sultan Suryanullah atau Suriansyah,
yang dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Banjar.
B.
Sultan-sultan
Kerajaan Bajar
Sultan-sultan
yang pernah memimpin dalam kerajaan Banjar, ada sumber yang mengatakan bahwa
sultan berjumlah sembilan belas, tetapi sumber lain mengatakan bahwa sultan
yang memimpin berjumlah hingga dua puluh tiga hingga kini, mereka yaitu:
1.
(1520-1546)
Sultan Suriansyah.
2.
(1546-1570)
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
3.
(1570-1595)
Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah.
4.
(1595-1641)
Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I.
5.
(1641-1646)
Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah.
6.
(1646-1660)
Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah.
7.
(1660-1663)
Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah.
8.
(1663-1679)
Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah.
9.
(1663-1679)
Sultan Agung/Pangeran Suria Nata (ke-2) bin Sultan Inayatullah.
10.
(1679-1700)
Sultan Amarullah Bagus Kasuma/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah.
11.
(1700-1717)
Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah/Tahlil-lullah.
12.
(1717-1730)
Panembahan Kasuma Dilaga.
13.
(1730-1734)
Sultan il-Hamidullah/Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I.
14.
(1734-1759)
Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I.
15.
(1759-1761)
Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan
Il-Hamidullah/Sultan Kuning.
16.
(1761-1801)
Sunan Nata Alam (Pangeran Mangkubumi) bin Sultan Tamjidullah I.
17.
(1801-1825)
Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II.
18.
(1825-1857)
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah.
19.
(1857-1859)
Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur
Rahman bin Sultan Adam.
20.
(1859-1862)
Sultan Hidayatullah Halilillah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin
Sultan Adam.
21.
(1862)
Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah.
22.
(1862-1905)
Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin.
23.
(2010)
Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar
bin Pangeran Haji Abubakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman
al-Mu'tamidullah.
Sultan-sultan yang masyhur
a.
Sultan
Suriansyah
Nama lahirnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat
menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih (kepala kampung) di hilir sungai Barito,
kemudian ia memakai gelar yang lebih tinggi yaitu Pangeran Samudera atau
Pangeran Jaya Samudera. Ia lebih terkenal dengan gelar Sultan Suriansyah, dari
kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden
Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti
pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya.
Daerah-daerah yang takluk pada masa Sultan Suryanullah - Sultan
Banjarmasin I disebutkan dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar menyebutkan :
“
Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang,
orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas sekaliannya itu
dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu
datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang
Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan,
orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu
dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya
negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.”
b.
Sultan
Mustain Billah
Jabatan
sultan dipegang oleh Sultan Mustain Billah setelah ayahnya, Sultan
Hidayatullah. Pada masa Sultan Mustain Billah mengalami masa kejayaan pada awal
abad ke-17. Pada masa ini, lada menjadi komoditas perdagangan utama di
Kesultanan Banjar.[8]
Disamping itu terdapat konflik dari unsur luar. Yaitu ketika pedagang Banjar
melakukan perdgangan di Pelabuhan Banten, pada tahun 1596. Ketika itu Belanda
tidak mendapatkan lada, karena kesombongannya pedagang Banten tidak mau
menjualkan ladanya kepada Belada. Maka Belanda menghadang pedagang Banjar untuk
mendapatkan lada dari mereka. Belanda melakukan ekspedisi ke Banjarmasin, untuk
mengetahui keadaan lada di sana.[9]
c.
Pangeran
Antasari
Pangeran Antasari bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin. Ia sampai sekarang masih dikenang karena keberaniannya melawan
penjajah kolonial Belanda. Namanya amat masyur dalam sejarah kepahlawanan
Kalimantan. Ia disebut sebagai pangeran yang gagah berani dan tokoh yang
berjuang membela tanah airnya. Semboyannya yang memperlihatkan watak ksatrianya
yang terkenal yakni: “Haram menyarah, waja sampai kaputing”(Haram
menyerah, tabah sampai akhir!).[10]
C.
Sistem
Politik, Ekonomi, dan Budaya Kerajaan Banjar
Ø Politik
Bentuk
pemerintahan Banjar sejak berdirinya sudah dipengaruhi oleh Kerajaan Demak.
Merupakan konsekuensi logis jikalau kerajaan A dapat memdirikan kerajaan dengan
bantuan Kerajaan B, maka Kerajaan B turut mempengaruhi bentuk dan jalannya pemerintahan
Kerajaan A.
Walaupun dalam
bentuk pemerintahan dibangun menurut model Jawa, raja dalam kekuasaannya
tidaklah semutlak (seabsolut) raja-raja jawa. Disamping keturunan, kekayaan
juga faktor yang menentukan dalam kedudukan raja. Pada hakekatnya pemerintah
bersifat aristokratis, yang dikuasai oleh para bangsawan, yang mana raja hanya
sebagai simbol pemersatu belaka.
Sultan
dalam Kerajaan Banjar merupakan penguasa tertinggi , yang mempunyai kekuasaan
dalam masalah politik dan keagamaan. Dibawah sultan ada Putera Mahkota yang
dikenal dengan sebutan Sultan Muta. Ia tidak mempunyai jabatan tertentu tetapi
pembantu Sultan. Disamping Sultan, terdapat sebuah lembaga Dewan Mahkota yang
terdiri dari kaum bangsawan dan Mangkubumi.
Mangkubumi adalah pembantu sultan yang mempunyai peranan besar
dalam roda pemerintahan. Mangkubumi di dalam pemerintahan didampingi menteri
Panganan, Menteri Pangiwa dan Menteri Bumi dan dibantu lagi oleh 40 orang
menteri Sikap. Tiap-tiap menteri Sikap mempunyai bawahan sebanyak 100 orang.[11]
Dilingkungan Kraton terdapat banyak pegawai atau petugas.[12]
Antara lain:
1.
Lima
puluh orang Sarawisa di bawah pimpinan Sarabraja bertugas menjaga krato
2.
Lima
puluh orang Mandung dibawah Raksayuda bertugas menjaga istana bangsal
3.
Empat
puluh orang Menagarsari dibawah Sarayuda bertugas mengawal raja
4.
Empat
puluh orang Singabana atau Parawila dibawah Singataka dan Singapati bertugas
sebagai polisi
5.
Empat
puluh orang Sarageni di bawah Saradipa bertugas menjaga alat senjata
6.
Empat
puluh orang Tuha Buru di bawah Puspawana bertugas mengawal raja bila sedang
berburu
7.
Lima
puluh orang Pangadapan atau Pamarakan dibawah Rasawija melakukan ber aneka
ragam tugas di istana.
Ø Sosial-ekonomi
Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang
berbentuk segi tiga piramid. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang
merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan,
keluarga raja. Lapisan tengah diisi oleh para pemuka agama yang mengurusi
masalah hukum keagamaan dalam kerajaan. Sementara golongan mayoritas diisi oleh
para petani, nelayan, pedagang dan lain sebagainya.[13]
Perkembangan perekonomian di Kalimantan Selatan mengalami kemajuan
yang pesat pada abad-16 sampai abad-17. Banjarmasin menjadi kota dagang yang
sangat berarti untuk mencapai suatu kemakmuran kerajaan. Kalimantan Selatan
juga memiliki perairan yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Dalam
perdagangan, lada merupakan komoditas ekspor terbesar dalam Kerajaan Banjar.
Dalam hal industri, Kerajaan Banjar juga menghasilkan besi dan
logam. Industri logam dan besi ini terdapat di daerah Negara. Kemampuan dan
keahlian mereka mencor logam seperti perunggu, yang dapat menghasilkan bermacam
barang-barang untuk di ekspor. Sejak
abad ke-17 daerah Negara terkenal dengan pembuatan kapal dan peralatan senjata
lainnya, seperti golok, kapak, cangkul dan lain-lain. Selain itu, keahlian
membuat kendi sebagai bentuk kerajinan yang telah berkembang turun-temurun
sebagai sambilan disamping bertani. Kemudian dikenal juga usaha-usaha pertukangan,
seperti tukang gergaji papan dan balok, tukang sirap, dan lain sebagainya.
Ø Budaya
Orang-orang Banjar terdiri dari
tiga golongan, yaitu kelompok Banjar Muara (Suku Ngaju), Kelompok Banjar Batang
Banyu (Suku Maanyan), dan Kelompok Banjar Hulu (Suku Bukit). Dalam setiap kurun
Sejarah, Kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan hingga
coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Ini merupakan manifestasi dari cara
berpikir sekelompok manusia di daerah ini dalam suatu kurun waktu tertentu.
Dalam rentetan peristiwa sejarah, kita dapatkan bahwa masyarakat
Banjar dimulai dari percampuran budaya melayu dengan budaya bukit dan maanyan
sebagai inti, kemudian membentuk kerajaan Tanjung Pura dengan agama Buddha.
Yang kedua, percampuran kebudayaan pertama dengan kebudayaan Jawa, yang mana
budaya Maanyan, Bukit, dan Melayu menjadi inti, yang kemudian membentuk
Kerajaan Negara Dipa dengan agama Buddha. Yang ketiga, adalah perpaduan dengan
kebudayaan Jawa yang membentuk kerajaan Negara Daha dengan agama Hindu. Yang
terakhir, lanjutan dari Kerajaan Daha dalam membentuk kerajaan Banjar Islam dan
perpaduan suku Ngaju, Maanyan dan Bukit. Dari perpaduan yang terakhir inilah
akhirnya melahirkan kebudayaan yang ada dalam Kerajaan Banjar.[14]
D.
Islamisasi
pada Kerajaan Banjar
Sultan
Suriansyah adalah raja pertama yang memeluk Islam dan menjadikannya agama resmi
kerajaan. Tetapi, hukum Islam belum melembaga dalam pemerintahan. Karena pada
saat itu belum ada ulama yang mendampinginya. Setelah Sultan Tahmidullah II berkuasa,
barulah hukum Islam itu melembaga. Hal ini menimbulkan terjadinya perubahan
dalam pemerintahan, terutama setelah Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari datang
dari Mekkah. Ia sangat disegani oleh sultan karena kedalaman ilmunya. Kitab Sabilul
Muhtadin yang ditulis atas permintaan sultan yang berkuasa pada saat itu
dijadikan pedoman hukum meskipun masih terbatas dalam bidang-bidang tertentu,
seperti hukum waris dan pernikahan.
Dengan
kebijakan Syeikh al-Banjari, perlahan-lahan hukum islam masuk istana. Dalam
masyarakat Banjar ajaran fiqh dari madzhab Syafi’i sangat berpengaruh sehingga
menjadi hukum adat rakyat. Syeikh Al-Banjari juga mengusulkan kepada Sultan
untuk membentuk Mahkamah Syari’ah, yakni suatu lembaga pengadilan agama, yang
dipimpin oleh seorang mufti sebagai ketua hakim tertinggi pengawas pengadilan
umum.
Dalam
penyebaran dan islamisasi di Kalimantan juga dikenal peranan seorang ulama yang
bernama Khatib Dayyan. Ia adalah seorang utusan dari Jawa, tepatnya Kerajaan
Demak. Tujuan Sultan Demak mengirimnya adalah untuk mengislamkan orang Banjar.
E.
Kemunduran
Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar mengalami kemajuaan sebagai dampak dari diaktikannya
wilayah kerajaan ini sebagai pelabuhan bebas, tetapi sebaliknya kehadiran unsur
asing didaerah itu juga dapat mengakibatkan perpecahan di kalangan istana. Kehadiran
pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang ikut campur dalam urusan adat
kerajaan adalah bukti bahwa unsur asing yang hadir dalam Kerajaan Banjar
nantinya akan memunculkan perpercahan dikalangan istana. Keterlibatan unsur
asing dalam urusan istana juga merupakan salah satu penyebab utama meletusnya
perang antara Kerajaan Banjar dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Awal mulanya Kerajaan Banjar memiliki hubungan yang cukup baik dengan
pemerintah kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dengan ikut campurnya
pemerintah kolonial dalam urasaan kerajaan mengakibatkan memanasnya hubungan
diantara kedua belah pihak yang pada akhirnya akan menyebabkan pertempuran
untuk mempertahankan kekuasaan di wilayah Kalimantan Selatan. Dalam sejarah
pertempuran tersebut dikenal sebagai “Perang Banjar”.
Perlawanan Kerajaan Banjar
berlangsung dalam dua tahap, yang pertama berlangsung dari tahun 1859-1863,
sedangkan perlawanan tahap kedua berlangsung dari tahun 1863-1905. Peperangan
yang berlangsung hampir setengah abad lamanya berakhir dengan kekalahan di
pihak Kerajaan Banjar. Dengan terpatahkannya perlawanan rakyat Banjar pada
tahun 1905, maka hal ini menandai runtuhnya era dari Kerajaan Banjar yang telah
berdiri sejak tahun 1520.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Kerajaan
Banjar merupakan kerajaan Islam pertama di Kalimantan. Kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Daha yang beragama Hindu. Berdirinya Kerajaan Banjar
karena adanya perebutan kekuasaan antara putera mahkota yang sah dengan
pamannya, yang terkenal dengan “Hikayat Banjar”. Sultan pertama Kerajaan Banjar
adalah Sultan Suriansyah, yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Budaya
yang berkembang pada masa Kerajaan ini bercorak Islam. Karena pemerintah
sendiripun sangat memberi perhatian kepada Islam dan hukum-hukumnya.
Hukum-hukum Islam terbentuk atas bantuan ulama-ulama, yang terkenal yakni
Syeikh al-Banjari. Kerajaan Banjar dari masa ke masa terus berkembang, tetapi
masa kejayaan itu melemah dengan kedatangannya Belanda ke Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri,
Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif, 1979.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
Yahya, M. Harun. Kerajaan Islam Nusantara: Abad
XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera,1995.
Kartodirjo,
Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Darmawijaya,.
Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.
[1] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1979), hlm. 386.
[4] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI
dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera,1995), hlm. 72.
[8] Darmawijaya, Kesultanan
Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hlm. 160.
[12] Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru 1500-1900 (Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar