BAB I
PENDAHULUAN
A.
Identifikasi Masalah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945
tidak serta merta menjadi akhir dari segala perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti yang
terkutip dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Agresi militer Belanda II pada tahun 1948 yang berujung pada Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag adalah salah satu gambaran, bahwa bangsa Indonesia
masih memerlukan perjuangan untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita selama
ini.
Pada saat Agresi Militer Belanda II, Dwitunggal, Soekarno-Hatta dan
beberapa pimpinan lainnya diasingkan, maka karena ditakutkan akan adanya
kekosongan kekuasaan di pemerintahan, Soekarno memberikan mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara untuk membuat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Dan setelah berakhirnya pengasingan maka berakhir pula PDRI.
Selanjutnya, hasil dari KMB yang menyatakan bahwa bentuk negara
dari Indonesia berubah menjadi serikat, yakni Republik Indonesia Serikat (RIS),
dan Soekarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden RIS, maka
lagi-lagi posisi Presiden Republik Indonesia yang saat itu merupakan salah satu
negara bagian dari RIS akan menjadi kosong. Maka saat itu diangkatlah Mr. Assaat
Datuk Mudo menjadi Acting Presiden Republik Indonesia. Dan setelah
Indonesia berubah lagi menjadi NKRI, berakhir pula jabatan yang dipegang Mr.
Assaat.
Kedua tokoh yang menjadi pejabat Presiden walau bersifat sementara,
dewasa ini banyak yang tidak menganggap dan tidak mengetahui perjuangan
keduanya. Bahkan ada yang sengaja seolah melupakan jasa kedua tokoh tersebut.
Maka, makalah ini mencoba untuk membahas mengenai biografi, pemikiran dan
tindakan Mr. Assaat khususnya dalam perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan
secara ringkas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi singkat Mr. Assaat.
2.
Pemikiran dan Tindakan Mr. Assaat dalam sejarah perjuangan Indonesia.
3.
Menolak Demokrasi Terpimpin dan bergabung dengan PRRI/Permesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Singkat Mr. Assaat
Mr. Assaat, lahir
di Dusun Pincuran Landai, Kubang
Putiah,
Banuhampu, Agam,
Sumatera
Barat
pada tanggal 18 September 1904 dan meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976
pada usia 71 tahun. Mr. Assaat adalah seorang
politisi, pejuang kemerdekaan Indonesia, dan pemangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia.[1]
Beliau merupakan anak dari seorang penghulu (datuk), sehingga Mr. Assaat
memiliki gelar “Datuk Mudo”. Mr. Assaat menikah dengan Roesiah di Rumah Gadang Kapalo Koto pada tanggal 12 Juni 1949.[2]
Mr. Assaat mengawali pendidikan di sekolah agama Adabiah, dan
melanjutkan ke MULO Padang. Lalu ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen
(STOVIA) Jakarta. Namun, karena merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, Mr.
Assaat keluar dan melanjutkan ke AMS (SMA). Dari AMS, Mr. Assaat meneruskan
studinya ke Rechts Hoge School (RHS), yakni sekolah tinggi hukum yang ada di Jakarta.
Saat di RHS, Mr. Assaat aktif di berbagai gerakan pemuda seperti Jong
Sumatranen Bond, Perhimpunan Pemuda Indonesia, dan Indonesia Muda. Mr. Assaat
pun ikut aktif dalam gerakan politik, yaitu dengan Partindo (Partai Indonesia).
Di Perhimpunan Pemuda Indonesia, Mr.
Assat pernah menduduki jabatan sebagai anggota Pengurus Besar, dan ketika
Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda, Mr.
Assaat terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda. Sedangkan di
Partindo Mr. Assaat bergabung bersama dengan Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir
Syarifuddin, dan sebagainya.
Kemudian karena keaktifannya dalam gerakan politik, Mr. Assaat tidak
diluluskan di RHS meskipun sudah beberapa kali ikut ujian. Tersinggung dengan
hal tersebut, Mr. Assaat memutuskan untuk berhenti dari RHS dan belajar di
Universitas Leiden, Belanda. Di sana beliau mendapat gelar Mr. (Meester in de Rechten) atau Sarjana Hukum.
Sekembalinya ke Indonesia pada 1939, karena sikap politik yang non kooperatif,
Mr. Assaat tidak ingin bekerja sama dengan Belanda, maka Mr. Assaat lebih
memilih menjadi advokat (pengacara). Selain itu, Mr. Assaat juga berkecimpung
dalam dunia perbankan sebagai anggota direksi NV Centrale Hulpspaar en
Hypnotheekbank (Bank Tabungan Kredit Pusat) sampai masuknya tentara Jepang
di Indonesia.[3]
Ketika Indonesia pada masa penjajahan Jepang, Mr. Assaat pernah mulai
ikut dalam pemerintahan. Di antaranya Mr. Assaat pernah menjadi camat Gambir,
dan Wedana atau lurah Mangga Besar di Jakarta. Mr. Assaat pun pernah menjadi
ketua Perwabi (Persatuan Warung Bangsa Indonesia).
Mr. Assaat adalah seorang yang religius, dan menghargai waktu. Meski bukan ahli pidato, tidak suka banyak bicara, tetapi segala
pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, dan semua rahasia negara dipegang
teguh. Mr. Assaat juga merupakan seorang yang tenang dalam
menghadapi persoalan-persoalan. Menurut pengakuan dari anaknya, Lucy Assaat Bachtiar,
ia mengatakan bahwa Mr. Assaat adalah seorang pendiam dan sederhana, lembut dan tidak bersuara keras kepada
keluarga, dan jika mengambil keputusan, pasti keputusan tersebut sudah
dipertimbangkan dengan matang.[4]
Mr. Assaat pernah memegang beberapa jabatan penting, seperti Ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan Badan Pekerjanya, Pejabat
Presiden Republik Indonesia yang merupakan bagian dari Republik Indonesia
Serikat (RIS) di Yogyakarta (Desember 1949 - Agustus 1950), Anggota Parlemen (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Natsir.[5]
B. Pemikiran dan
Tindakan Mr. Assaat dalam Sejarah Perjuangan Indonesia
Mr. Assaat berperan penting dalam pemerintahan dan perjuangan Indonesia
pada masa revolusi. Untuk sedikit lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut :
1. Sebagai Ketua Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerja KNIP
KNIP adalah sebuah badan pembantu Presiden yang dibentuk, dilantik dan
mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai Februari 1950,[6] diketuai
oleh Mr. Kasman Singodimedjo. Sedangkan Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk
tanggal 16 Oktober 1945, diketuai oleh Sutan Sjahrir dengan sekretaris Soepeno
yang beranggotakan 28 orang. Pembentukan BP-KNIP ini disebabkan keadaan yang
genting pada saat itu, sehingga untuk pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh
Badan Pekerja KNIP.
Pada masa revolusi KNIP dan BP-KNIP, berkedudukan
awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung
Kesenian Jakarta)
di Pasar Baru dan di gedung Palang
Merah Indonesia
di jalan
Kramat Raya. Kemudian berpindah
ke Yogyakarta. Setelah itu pindah ke Purworejo,
Jawa
Tengah.
Sampai saat situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya kembali
berpindah ke Yogyakarta sampai akhirnya dibubarkan.
Mr. Assaat menjadi ketua BP-KNIP, ketika Soepeno
yang telah menjadi ketua menggantikan Sutan Sjahrir yang diangkat menjadi
perdana menteri, diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda pada tanggal
28 Januari 1948. Selain itu, Mr.
Assaat menjabat sebagai ketua KNIP yang kedua dan terakhir sampai KNIP
dibubarkan. KNIP sendiri menjadi cikal bakal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena memiliki fungsi legislatif dan
ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).[7]
Hal ini tertuang dalam Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 17 Oktober 1945.
KNIP ketika di bawah kepemimpinan Mr. Assaat, meratifikasi Perjanjian
Linggajati, sebuah perjanjian internasional antara delegasi Indonesia yang
diketuai oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dengan delegasi Belanda yang
diketuai Schermerhorn, dalam sebuah sidang yang berlangsung di Malang. Sebelum
meratifkasi, perjanjian tersebut tidak mendapat sambutan baik dari pihak
Indonesia maupun pihak Belanda. Di pihak Indonesia, di antaranya penolakan ada dari
Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI) karena perjanjian tersebut dianggap
merugikan, dan menjadi bukti lemahnya pemerintahan Indonesia, juga Partai
Masyumi tidak yakin Belanda akan patuh terhadap perjanjian tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 6/1946, di mana bertujuan menambah anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat
agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung Perjanjian Linggajati. Akhirnya dengan
Peraturan Presiden tersebut dan karena ketenangan dan wibawa Mr. Assaat
memimpin sidang, KNIP meratifikasi Perjanjian Linggarjati pada 25 Februari 1947
dan satu bulan kemudian perjanjian tersebut ditandatangani oleh Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir Jakarta.[8] Meskipun pada akhirnya Belanda melanggar perjanjian tersebut, namun dari
Perjanjian Linggajati ini secara de facto esksistensi Indonesia diakui
oleh dunia Internasional.
Dalam Agresi Militer Belanda II, Mr. Assaat ikut diasingkan bersama
dengan Dwitunggal, Soekarno-Hatta. Namun setelah terjadinya perjanjian
Roem-Royen akhirnya mereka dibebaskan.
Selain meratifikasi Perjanjian Linggajati, Mr. Assaat juga berperan
dalam meratifikasi Perjanjian Roem-Royem pada 25 Juli 1949, dan persetujuan
Konferensi Meja Bundar pada sidang KNIP yang berlangsung 7-15 Desember 1949.[9]
2. Sebagai Acting Presiden
Republik Indonesia
Setelah disahkannya persetujuan Konferensi Meja Bundar pada sidang pleno
KNIP, maka pada tanggal 16 Desember dilangsungkan pemilihan Presiden Republik
Indonesia Serikat di gedung Kepatihann Yogyakarta oleh wakil-wakil 16 negara
bagian dan pilihan jatuh kepada Soekarno.[10]
Sesuai persetujuan KMB bahwa penyerahan kedaulatan paling lambat akan
dilaksanakan pada 30 Desember. Terkait itu, delegasi yang diketuai oleh Moh.
Hatta berangkat ke Belanda pada 23 Desember. Sedangkan di Indonesia sendiri,
dibentuk delegasi yang diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk serah-terima
dari pemerintahan Hindia-Belanda di Jakarta. Maka pada tanggal 27 Desember
terjadi persitiwa besar dalam sejarah Indonesia, yaitu penyerahan kedaulatan
dari pemerintahan Belanda ke RIS di Amsterdam, penyerahan pemerintahan dari
Hindia-Belanda ke RIS di Jakarta dan penerimaan Republik Indonesia ke dalam RIS
dari acting Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat.
Mr. Assaat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagai negara
bagian dari RIS, selama kurang lebih 9 bulan. Masa jabatan yang singkat bukan
berarti tidak ada peran dan jasa dari Mr. Assaat. Dapat dikatakan bahwa dengan
diangkatnya Mr. Assaat menjadi Presiden RI itu sendiri merupakan peran dan jasa
yang sangat besar. Karena jika tidak, maka akan ada masa kekosongan kekuasaan (vacuum
of power) dalam sejarah Indonesia. Sedangkan adanya kekuasaan merupakan
syarat utama untuk diakui sebagai negara.
Mr. Assaat terkenal dengan kesederhanaanya. Ketika itu Mr. Assaat tidak
mau dipanggil dengan “Paduka Yang Mulia”, dan memilih untuk dipanggil “saudara Acting
Presiden”. Panggilan ini memang canggung, sehingga Mr. Assaat mengatakan
“panggil saja saya Bung Presiden”. Selain itu, Mr. Assaat pernah bersikeras
untuk melakukan perjalanan dengan sepeda walaupun telah disiapkan mobil
kepresidenan.
Peran dan jasa yang paling besar, jika boleh dikatakan, Mr. Assaat
ketika menjadi Presiden adalah penandatangan statuta pendirian Universitas
Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Dan menjelang pulihnya kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), muncul pendapat yang ingin memindahkan Universitas
Gadjah Mada ke Jakarta. Namun Mr. Assaat teguh pada
pendapat agar Universitas Gadjah Mada tetap di Yogyakarta. Untuk
memperkuat pendapatnya itu, Mr. Assaat membawanya ke dalam sidang Kabinet Halim. Sehari menjelang deklarasi kembali ke
NKRI, keluarlah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus
1950 yang mengatur keberadaan Universitas Gadjah Mada.
Maka, untuk Yogyakarta, itulah warisan Mr. Assaat yang tidak ternilai harganya. Tanpa campur tangan Mr. Assaat, sangat boleh jadi Yogyakarta tidak lagi memiliki Universitas
Gadjah Mada.[11]
Ketika NKRI kembali pulih, maka berakhirlah jabatan Mr. Assaat sebagai
Presiden Republik Indonesia, dan ibukota kembali ke Jakarta. Setelah itu Mr.
Assaat sempat menjadi anggota parlemen, kemudian menjabat Menteri Dalam Negeri
pada Kabinet Natsir, dan selanjutnya kembali menjadi anggota parlemen.
Selain dari uraian di atas, ada pula beberapa pemikiran dan tindakan Mr.
Assaat, seperti di antaranya :
1.
Mencetuskan gagasan wawasan nusantara yang kemudian dikonkritkan menjadi
kesepakatan internasional “Deklarasi Djuanda”. Deklarasi ini diresmikan menjadi
UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Hal ini memperkokoh eksistensi NKRI yang terdiri dari ribuan pulau.[12]
Hari Deklarasi Djuanda, yakni 13 Desember, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid
dicanangkan sebagai “Hari Nusantara” dan pada masa Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang
Hari Nusantara, maka tanggal 13
Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
2.
Menentang penghapusan BNI selama perundingan KMB, dan menjadikan Javashebank
sebagai bank sirkulasi.
3.
Mencetuskan gagasan larangan warga negara asing (cina) berdiam di
pedesaan dan kota-kota kecamatan yang dikenal sebagai P.P. 10/1959.[13]
4.
Pada tahun 1955, Mr. Assaat bersama dengan Dr. Soekiman Wiryosandjoyo
dan Wilopo diangkat sebagai formatur cabinet. Kemudian mereka mencalonkan Bung
Hatta sebagai Perdana Menteri, namun hal tersebut gagal karena ditolak oleh
parlemen.
C. Menolak Demokrasi
Terpimpin dan Bergabung dengan PRRI/Permesta
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau Permesta
(Perjuangan Semesta) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Gerakan ini dideklarasikan pada 15 Februari 1958
di Padang, Sumatera Barat. Gerakan ini berawal reuni eks Divisi Banteng pada
21-24 November 1956. Dalam reuni ini awalnya dibicarakan mengenai nasib para
bekas pejuang tetapi kemudian meluas ke masalah-masalah nasional. Kemudian di
Medan pun didirikan pula Dewan Gajah, namun keadaan yang tidak mendukung
membuat Dewan Gajah ini melemah. Sedangkan di Palembang diselenggarakan Kongres
Adat pada bulan Oktober, yang dilanjutkan dengan Kongres Adat Sumatera Selatan
pada 15-17 Januari 1957 dengan menghasilkan Piagam Perjuangan Sumatera Selatan
dan Dewan Garuda.
Pendirian ketiga dewan ini memiliki tujuan dan inti yang sama yaitu
pulihnya Dwitunggal merupakan tuntutan politik untuk mengatasi kemelut pimpinan
nasional dan otonomi daerah dituntut sebagai langkah realisasi pembangunan.[14]
Namun perjalanan ketiga dewan ini yang terkempul menjadi Dewan Perjuangan
(sebelum deklarasi menjadi PRRI) selalu dihambat oleh PKI.
Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Mr. Assaat sebagai seorang demokrat dan orang Islam menentangnya.
Secara pribadi Mr. Assaat menghormati Presiden Soekarno tetapi menentang sikap
politiknya yang seolah-olah condong kepada PKI. Selain itu Demokrasi Terpimpin
adalah kediktatoran terselebung. Akhirnya karena merasa dikekang, ditekan, dan
diawasi intel serta PKI dan suasana
di Jakarta makin tidak kondusif, Mr. Assaat
meninggalkan Jakarta menuju Padang dan akhirnya ikut bergabung dengan Dewan
Perjuangan. Kemudian di PRRI atau Dewan Perjuangan, Mr. Assaat diberi kedudukan
sebagai Menteri Dalam Negeri yang sebelumnya dipegang oleh Kol. Dahlan Djambek.
Perang gerilya mulai dilancarkan pada Maret 1958 dan sebenarnya dapat
berkepanjangan, karena saat itu PRRI mendapat bantuan rakyat dalam bentuk
pasukan dan makanan yang cukup memadai. Namun akhirnya PRRI menghentikan
perlawanan pada 1961 yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti di antaranya
jika mereka terus-menerus melawan, maka PKI akan mampu mengambil keuntungan
karena keadaan negara yang lemah. Selain itu, dari pihak TNI-AD pun timbul
upaya untuk menghentikan perlawanan. Dan setelah itu Mr. Assaat dan beserta
pimpinan lain dari PRRI dikarantina, dan baru dibebaskan pada masa Orde Baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mr. Assaat semasa hidupnya, memiliki peranan penting dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Pada masa revolusi, Mr. Assaat pernah menjabat
sebagai ketua dari KNIP merangkap Badan Pekerjanya. Kemudian setelah
disetujuinya Konferensi Meja Bundar, Mr. Assaat diangkat menjadi Presiden
Republik Indonesia yang termasuk dari Republik Indonesia Serikat.
Ketika Presiden Soekarno mencetuskan Demokrasi Terpimpin, Mr. Assaat
ikut bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI
itu sendiri didirikan atas dasar ketidaksetujuannya pada keputusan-keputusan
Presiden Soekarno yang dianggap keluar dari konstitusi. Namun pendirian PRRI
ini bukan untuk menjadi tandingan dari pemerintahan yang banyak dianggap oleh
banyak orang dewasa ini.
[1]
Lihat Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, (Jakarta: Kompas,
2009), hlm 65.
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Mr. Assaat, diakses 27 November 2014.
[3]
R.Z. Leirissa, PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 229.
[4]
Lihat http://newsaddictionary.wordpress.com/2011/06/10/Mr.Assaat-realitas-presiden-ketiga-indonesia/,
diakses 27 November 2014.
[5] http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3954-pejabat-presiden-ri-(ris).
Diakses 27 November 2014.
[6]
http://id.wikipedia.org/wiki/Mr. Assaat, diakses pada 27 November 2014.
[8]
Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop
Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: LKIS,
2010), hlm. 257.
[9]
Lihat Slamet Muljana, Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai
Kemerdekaan jilid II (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 245.
[10] Ibid.,
hlm. 245.
[11] http://sejarah.kompasiana.com/2012/10/31/tragedi-pembela-gigih-republik-499705.html, diakses 27
November 2014.
[13]
Leirissa, hlm. 229.
[14] Ibid.,
hlm. 66.